Ucapan Bill Gates yang saya kutip minggu lalu dalam kolom ini rupanya tak bisa dianggap enteng. Katanya, "Banking is necessary, banks are not".
"Ya, kita perlu perbankan, tapi banknya tidak". Aduh, gimana dong kita yang bekerja di bank? Gates tidak main-main. Selain PayPal, Google Wallet, dan Apple Pay, kini ada Zopa, Square, dan Amazon Payments. Semuanya bukan bank, melainkan para inovator dalam dunia digital. Semuanya menjalankan fungsi perbankan yang jauh lebih efisien dan efektif. Kini bank-bank lokal kita pun mulai melirik M-Pesa (mobile money) yang populer di Kenya.
Sekadar diketahui, satu dari tiga pemakai mobile money dunia yang dua tahun lalu baru mencapai 60 juta pelanggan, adalah orang Kenya. Pasalnya, 80% dari semua ponsel (yang jumlahnya sudah melebihi populasi Kenya) telah bertransaksi melalui M-Pesa. Menurut kajian US News & World Report, dalam 30 tahun ke depan, uang kertas, kartu kredit, dan kartu debit akan menjadi sejarah.
Read more ...
Sekitar 65 juta tahun silam, dua asteroid menghantam bumi. Dampaknya Anda tentu pernah mendengar, yakni punahnya dinosaurus dan sejumlah makhluk mamalia lainnya.
Rupanya fenomena ala asteroid tersebut tak hanya terjadi sekali. Menurut Peter H Damianis dan Steven Kotler dalam bukunya BOLD: How to Go Big, Create Wealth and Impact The World (2014), fenomena tersebut bakal berulang. Hanya bentuk asteroidnya kali ini bukan lagi berupa bebatuan, melainkan teknologi.
Di antaranya teknologi digital. Fenomenanya ada di depan mata. Anda tentu kerap mendengar ungkapan "berubah atau punah". Maksudnya, kondisi memaksa kita untuk berubah. Jika tidak, kita bakal tersingkir.
Contohnya tersebar di mana-mana. Di luar negeri, Anda tentu pernah mendengar nama Kodak, Nokia, Palm, Borders, RIM, Compaq, atau Circuit City. Nama-nama itu kini terlempar dari kancah persaingan bisnis. Itu pada level korporasi. Sekarang kita bahas level negara.
Read more ...
Dalam perjalanan pulang ke Jakarta dari Frankfurt, salah seorang CEO perusahaan terkemuka Indonesia duduk di sebelah saya. Pria berkebangsaan India yang sangat berpendidikan itu bercerita tentang karier dan perusahaannya.
Gerak keduanya (karier dan perusahaannya) begitu lincah, tidak seperti kita, yang masih rigid (red: kaku; tidak fleksibel; sulit berubah), terperangkap pola lama, seakan-akan semua layak dipagari, dibuat sulit. Perusahaan sulit bergerak, impor-ekspor bergerak lambat, dwell time tidak konsisten. Ini sama seperti karier sebagian dari kita, terkunci di tempat. Akhirnya, kita hanya bisa mengeluh.
Pria itu dibesarkan di India, kuliah S-1 sampai selesai di sana, menjadi alumnus Fulbright, mengambil S-2 di Amerika Serikat, lalu berkarier di India sampai usia 45 tahun. Setelah itu, ia menjadi CEO di perusahaan multinasional dari Indonesia.
Read more ...